Sabtu, 21 Februari 2015

Sumber dan Dalil Hukum Islam



A.   PENDAHULUAN
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan tentang definisi ushul fiqih dan istimdad dalam ushul fiqih. Yang mana pengertian ushul fiqih secara terminologi yaitu ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat mengantarkan kepada hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang rinci. Sedangkan istimdad itu sendiri adalah pengambilan dari suatu hukum yang dalam kaitannya dengan ilmu ushul fiqih.
Dalam makalah kelompok kami ini, akan membahas tentang adanya sumber dan dalil hukum-hukum Islam yakni pengertian sumber dan dalil, sumber dan dalil hukum Islam yang meliputi Alquran, As-Sunnah, ijma, dan qias.

 B. PEMBAHASAN
1.  Pengertian Sumber dan Dalil
Dalam bahasa Arab, yang dimaksud dengan “sumber” secara etimologi adalah mashdar (مصدر), yaitu asal dari segala sesuatu dan tempat merujuk segala sesuatu. Dalam ushul fiqih kata mashdar al-ahkam al-syar’iyyah (مصادرالاحكام الشرعية) secara terminologi berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu Alquran dan Sunnah.
Sedangkan “dalil” dari bahasa Arab al-dalil (الدليل), jamaknya al-adillah (الادلة), secara etimologi berarti:
الهادي الى اي شئ اومعنوي
“Petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material (maknawi).”
Secara terminologi, dalil mengandung pengertian:
مايتوصل بصحيح النظرفيه الى حكم شرعي عملي
Suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif).

2.  Sumber dan Dalil Hukum Islam
1)  Al-Quran
a.  Pengertian Al-Quran
Secara etimologis, Al-Quran adalah mashdar dari kata qa-ra-a yang artinya bacaan. Sedangkan secara terminologis Alquran adalah:
القران هوالكلام الله المعجزالمنزل على خاتم الانبياءوالمرسلين بواسطة الامين جبريل المكتوب فى المصاحف المنقول الينابالتواترالمتعبد بتلاوته المبدوبسورة الفاتحة والختوم بسورة الناس.
“Al-Quran adalah Kalam Allah yang mukjiz, diturunkan kepada Nabi dan Rasul penghabisan dengan perantaraan Malaikat terpercaya, Jibril, tertulis dalam mushaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.

b.  Hukum-hukum Yang Dikandung Al-Quran dan Tujuan Diturunkan Al-Quran
Para ulama Ushul Fiqih menginduksi hukum-hukum yang dikandung Al-Quran terdiri atas: I’tiqadiyah, Khuluqiyah, dan Ahkam ‘amaliyah.
Tujuan diturunkannya Al-Quran yakni sebagai mukjizat yang membuktikan kebenaran Rasulullah dan sebagai petunjuk, sumber syari’at dan hukum-hukum yang wajib diikuti dan dijadikan pedoman.

c.   Penjelasan Al-Quran Terhadap Hukum-hukum
1.  Ijmali (global), yaitu penjelasan yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam pelaksanaannya. Contoh: masalah shalat, zakat dan kaifiyahnya.
2.  Tafshili (rinci), yaitu keterangannya jelas dan sempurna, seperti masalah akidah, hukum waris dan sebagainya.

d.  Dalalah Al-Quran Terhadap Hukum-hukum
Dalalah Al-Quran terhadap hukum-hukum adakalanya bersifat qathi’ dan adakalanya bersifat zhanni.
1.  Qathi’ yaitu lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya.
2.  Zhanni yaitu lafal-lafal yang dalam Al-Quran mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan.

e.   Kaidah Ushul Fiqih Yang Terkait dengan Al-Quran
Para ulama ushul fiqih, mengemukakan beberapa kaidah umum ushul fiqih yang terkait dengan Al-Quran. Kaidah-kaidah itu diantaranya adalah:
1.  Al-Quran merupakan dasar dan sumber utama hukum Islam, sehingga seluruh sumber hukum atau metode istinbat hukum harus mengacu kepada kaidah umum yang dikandung Al-Quran.
2.  Untuk memahami kandungan Al-Quran, mujtahid harus mengetahui secara baik sebab-sebab diturunkannya Al-Quran (asbab al-nuzul).
3.  Dalam memahami kandungan Al-Quran, mujtahid juga dituntut untuk memahami secara baik adat kebiasaan orang Arab, baik yang berkaitan dengan perkataan maupun perbuatan.

2)  As-Sunnah
a.  Pengertian As-Sunnah
As-Sunnah menurut bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik atau yang buruk.” Sedangkan menurut istilah ushul fiqih sunnah Rasulullah seperti yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (Guru besar Hadis Universitas Damascus) berarti “Segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah Qauliyah), perbuatan (sunnah Fi’liyah), atau pengakuan (sunnah Taqririyah).”

b.  Dalil Keabsahan As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Alquran memerintahkan kaum muslimim untuk menaati Rasulullah seperti dalam ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnahnya). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)
Selain ayat tersebut ada juga ayat yang menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat keteladanan yang baik (QS. Al-Ahzab: 21), bahkan dalam ayat lain Allah memuji Rasulullah sebagai seorang yang Agung akhlaknya (QS. Al-Qalam: 4). Selain itu terdapat juga dalam QS. An-Nisa: 65 dan 80, dan QS. An-Nahl: 44.
Ayat-ayat di atas secara tegas menunjukkan wajibnya mengikuti Rasulullah yang tidak lain adalah mengikuti sunnah-sunnahnya. Berdasarkan beberapa ayat tersebut, para sahabat semasa hidup Nabi dan setelah wafatnya telah sepakat atas keharusan menjadikan sunnah Rasulullah sebagai sumber hukum.

c.   Pembagian As-Sunnah atau Hadis
Sunnah atau hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya dalam kajian ushul fiqih dibagi menjadi dua macam, yaitu: hadis mutawwatir dan hadis ahad.

d.  Fungsi Sunnah Terhadap Ayat-ayat Hukum
Secara umum fungsi sunnah adalah sebagai bayan (penjelasan), atau tabyim (menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Alquran (QS. An-Naml: 44)). Ada beberapa fungsi sunnah terhadap Alquran, yaitu:
~     Menjelaskan isi Alquran, antara lain dengan merinci ayat-ayat global
~     Membuat aturan-aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan pokok-pokoknya di dalam Alquran
~     Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Alquran.

3).   Ijma’
a)  Pengertian Ijma’
Ijma’ artinya cita-cita, rencana dan kesepakatan. Firman Allah Swt.
فاجمعواامركم (يونس:٧١)
“Maka cita-citakanlah urusanmu.”
Menurut Imam Ghazali ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.
b) Rukun dan Syarat Ijma’
Rukun ijma’ menurut Jumhur Ulama yaitu:
1.  Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid
2.  Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut
3.  Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya
4.  Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’
5.  Sandaran ijma’ yaitu Alquran dan Hadis


c)   Syarat-syarat Ijma’ Menurut Jumhur Ulama
1.  Yang melakukan ijma’ adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad
2.  Kesepakatan muncul dari mujtahid yang bersifat adil
3.  Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.

d) Kedudukan Ijma’
Ijma’ tidak dijadikan hujjah (alasan) dalam menetapkan hukum karena yang menjadi alasan adalah kitab dan sunnah atau ijma’ yang didasarkan kepada kitab dan sunnah.
“Ijma’ tidaklah termasuk dalil yang bisa berdiri sendiri.”
Firman Allah Swt. QS. An-Nisa’ ayat 58 yang artinya:
“Jika kamu berlainan pendapat dalam suatu masalah, maka hendaklah kamu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Yang dimaksud kembali kepada Allah yaitu berpedoman dan bertitik tolak dalam menetapkan suatu hukum kepada Alquran. Sedangkan yang dimaksud dengan kembali kepada Rasul-Nya yaitu berdasarkan kepada Sunnah Rasul. Dengan pengertian ijma’ yang dapat menjadi hujjah adalah ijma’ yang berdasarkan kepada Alquran dan Sunnah.
e). Macam - macam Ijma 
          Macam - macam ijma  bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu:
1)     Ijma sharih, yaitu semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya.
2)    Ijma sukuti, yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang di ketahui oleh para mujtahid lainya, tapi mereka diam, tidak menyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas.

4).  Qiyas
a)  Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persamaan illatnya. Sedangkan menurut istilah qias adalah mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada atau telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama illat antara keduanya (asal dan furu’).
b) Rukun dan Syarat Qiyas
Para ulama ushul fiqh menatapkan bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu: ‘ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), ‘illat (motivasi hukum) yang terdapat dan terlibat oleh mujtahid pada ‘ashl, dan hukum ‘ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’).
Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa setiap rukun qias yang telah dipeparkan dia atas harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga qias dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
1.  Ashl
Syarat-syarat ashl itu adalah:
a)  Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dibatalkan
b)  Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara’
c)   ‘Ashl itu bukan merupakan far’u dari ashl lainnya
d)  Dalil yang menetapkan ‘illat pada ashl itu adalah dalil khusus
e)   Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qias
f)    Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas

2.  Hukum al-Ashl
a)  Tidak bersifat khusus
b)  Hukum al-ashl itu tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qias
c)   Tidak ada nash
d)  Hukum al-ashl itu lebih dahulu disyariatkan dari far’u.
3.  Far’u
a)   ‘Illatnya sama dengan ‘illatnya yang ada pada ashl
b)  Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qias
c)   Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl
d)  Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu
4.  ‘Illat
a)  ‘Illat mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum
b)  ‘Illat dapat diukur dan berlaku untuk semua orang
c)   ‘Illat itu jelas, nyata, dan bisa ditangkap oleh panca indera manusia
d)  ‘Illat merupakan sifat yang sesuai dengan hukum
e)   ‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma
f)    ‘Illat itu bersifat utuh dan berlaku secara timbal balik
g)  ‘Illat itu tidak datang belakangan dari hukum ashl
h)   ‘Illat itu bisa ditetapkan dan diterapkan pada kasus hukum lain.
c)   Kedudukan Qias
Menurut Jumhur Ulama, bahwa qias adalah hukum syara’ yang dapat menjadi hujjah dalam menetapkan suatu hukum dengan alasan:
فاعتبروايااولى الابصار (الحشر:٢)
“Maka menjadi pandangan bagi orang-orang yang berpikir.” (QS. Al-Hasyr:2)
Kalimat yang menunjukkan qias dalam ayat ini “menjadi pandangan”, ini berarti membandingkan antar hukum yang tidak disebutkan dengan hukum yang telah ada ketentuannya.

C.   PENUTUP
Sumber berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu Alquran dan Sunnah. Sedangkan dalil yaitu suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qathi’ (pasti) maupun zhanni (relatif).
Sumber dan dalil hukum-hukum Islam yaitu meliputi Alquran dan Sunnah Rasul. Alquran adalah kalam Allah yang mukjiz, diturunkan kepada Nabi dan Rasul penghabisan dengan perantaraan Malaikat terpercaya, Jibril, tertulis dalam mushaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas. Sedangkan Sunnah Rasul adalah segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah Qauliyah), perbuatan (sunnah Fi’liyah), atau pengakuan (sunnah Taqririyah).
Dalil dan metode penggunaan dalil yaitu ijma, qiyas. Ijma adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama. Qiyas yaitu mengeluarkan (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada atau telah ditetapkan oleh kitab dan sunnah, disebabkan sama illat antara keduanya (asal dan furu’).





DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar. 1996. Fiqh dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Effend, H. Satria dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqih. 2005. Jakarta: Kencana.
Haroen, H. Nasrun. 1996. Ushul Fiqih I. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Rohayana, Ade Dedi. 2005. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: STAIN Press.
Ali Shodiqin, “Pengantar Fiqih/Ushul Fiqih”,



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar