A.
PENDAHULUAN
Pada bab sebelumnya
telah dijelaskan tentang definisi ushul fiqih dan istimdad dalam ushul fiqih.
Yang mana pengertian ushul fiqih secara terminologi yaitu ilmu tentang
kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat mengantarkan kepada
hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang rinci.
Sedangkan istimdad itu sendiri adalah pengambilan dari suatu hukum yang dalam
kaitannya dengan ilmu ushul fiqih.
Dalam makalah kelompok
kami ini, akan membahas tentang adanya sumber dan dalil hukum-hukum Islam yakni
pengertian sumber dan dalil, sumber dan dalil hukum Islam yang meliputi
Alquran, As-Sunnah, ijma, dan qias.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Sumber dan
Dalil
Dalam bahasa Arab,
yang dimaksud dengan “sumber” secara etimologi adalah mashdar (مصدر), yaitu asal dari segala sesuatu dan
tempat merujuk segala sesuatu. Dalam ushul fiqih kata mashdar al-ahkam
al-syar’iyyah (مصادرالاحكام الشرعية)
secara terminologi berarti rujukan utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu
Alquran dan Sunnah.
Sedangkan “dalil” dari
bahasa Arab al-dalil (الدليل), jamaknya al-adillah
(الادلة), secara etimologi berarti:
الهادي الى اي شئ اومعنوي
“Petunjuk kepada
sesuatu baik yang bersifat material maupun non material (maknawi).”
Secara terminologi, dalil mengandung
pengertian:
مايتوصل بصحيح النظرفيه الى حكم شرعي عملي
Suatu petunjuk yang
dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang
bersifat praktis, baik yang statusnya qathi’ (pasti) maupun
zhanni (relatif).
2. Sumber dan Dalil Hukum
Islam
1) Al-Quran
a. Pengertian Al-Quran
Secara etimologis, Al-Quran
adalah mashdar dari kata qa-ra-a yang artinya bacaan. Sedangkan secara
terminologis Alquran adalah:
القران هوالكلام الله المعجزالمنزل على خاتم الانبياءوالمرسلين
بواسطة الامين جبريل المكتوب فى المصاحف المنقول الينابالتواترالمتعبد بتلاوته
المبدوبسورة الفاتحة والختوم بسورة الناس.
“Al-Quran adalah Kalam
Allah yang mukjiz, diturunkan kepada Nabi dan Rasul penghabisan
dengan perantaraan Malaikat terpercaya, Jibril, tertulis dalam mushaf yang
dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, yang
dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
An-Nas.
b. Hukum-hukum Yang
Dikandung Al-Quran dan Tujuan Diturunkan Al-Quran
Para ulama Ushul Fiqih
menginduksi hukum-hukum yang dikandung Al-Quran terdiri atas: I’tiqadiyah,
Khuluqiyah, dan Ahkam ‘amaliyah.
Tujuan diturunkannya
Al-Quran yakni sebagai mukjizat yang membuktikan kebenaran Rasulullah dan
sebagai petunjuk, sumber syari’at dan hukum-hukum yang wajib
diikuti dan dijadikan pedoman.
c. Penjelasan Al-Quran
Terhadap Hukum-hukum
1. Ijmali (global), yaitu penjelasan
yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam pelaksanaannya. Contoh:
masalah shalat, zakat dan kaifiyahnya.
2. Tafshili (rinci), yaitu keterangannya
jelas dan sempurna, seperti masalah akidah, hukum waris dan
sebagainya.
d. Dalalah Al-Quran
Terhadap Hukum-hukum
Dalalah Al-Quran
terhadap hukum-hukum adakalanya bersifat qathi’ dan adakalanya bersifat zhanni.
1. Qathi’ yaitu
lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna
lain darinya.
2. Zhanni yaitu
lafal-lafal yang dalam Al-Quran mengandung pengertian lebih dari satu dan
memungkinkan untuk ditakwilkan.
e. Kaidah Ushul Fiqih
Yang Terkait dengan Al-Quran
Para ulama ushul
fiqih, mengemukakan beberapa kaidah umum ushul fiqih yang terkait dengan Al-Quran.
Kaidah-kaidah itu diantaranya adalah:
1. Al-Quran merupakan
dasar dan sumber utama hukum Islam, sehingga seluruh sumber hukum atau metode
istinbat hukum harus mengacu kepada kaidah umum yang dikandung Al-Quran.
2. Untuk memahami
kandungan Al-Quran, mujtahid harus mengetahui secara baik sebab-sebab
diturunkannya Al-Quran (asbab al-nuzul).
3. Dalam memahami
kandungan Al-Quran, mujtahid juga dituntut untuk memahami secara baik adat
kebiasaan orang Arab, baik yang berkaitan dengan perkataan maupun perbuatan.
2) As-Sunnah
a. Pengertian As-Sunnah
As-Sunnah menurut
bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik atau yang
buruk.” Sedangkan menurut istilah ushul fiqih sunnah Rasulullah seperti yang
dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (Guru besar Hadis Universitas
Damascus) berarti “Segala perilaku Rasulullah yang berhubungan dengan hukum,
baik berupa ucapan (sunnah Qauliyah), perbuatan (sunnah Fi’liyah),
atau pengakuan (sunnah Taqririyah).”
b. Dalil Keabsahan
As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Alquran memerintahkan
kaum muslimim untuk menaati Rasulullah seperti dalam ayat:
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnahnya). Jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (An-Nisa: 59)
Selain ayat tersebut
ada juga ayat yang menjelaskan bahwa pada diri Rasulullah terdapat keteladanan
yang baik (QS. Al-Ahzab: 21), bahkan dalam ayat lain Allah memuji Rasulullah
sebagai seorang yang Agung akhlaknya (QS. Al-Qalam: 4). Selain itu terdapat
juga dalam QS. An-Nisa: 65 dan 80, dan QS. An-Nahl: 44.
Ayat-ayat di atas
secara tegas menunjukkan wajibnya mengikuti Rasulullah yang tidak lain adalah
mengikuti sunnah-sunnahnya. Berdasarkan beberapa ayat tersebut, para sahabat
semasa hidup Nabi dan setelah wafatnya telah sepakat atas keharusan menjadikan
sunnah Rasulullah sebagai sumber hukum.
c. Pembagian As-Sunnah
atau Hadis
Sunnah atau hadis dari
segi sanadnya atau periwayatannya dalam kajian ushul fiqih dibagi menjadi dua
macam, yaitu: hadis mutawwatir dan hadis ahad.
d. Fungsi Sunnah Terhadap
Ayat-ayat Hukum
Secara umum fungsi
sunnah adalah sebagai bayan (penjelasan), atau tabyim
(menjelaskan ayat-ayat hukum dalam Alquran (QS. An-Naml: 44)). Ada beberapa
fungsi sunnah terhadap Alquran, yaitu:
~ Menjelaskan isi
Alquran, antara lain dengan merinci ayat-ayat global
~ Membuat aturan-aturan
tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan
pokok-pokoknya di dalam Alquran
3). Ijma’
a) Pengertian Ijma’
Ijma’ artinya
cita-cita, rencana dan kesepakatan. Firman Allah Swt.
فاجمعواامركم (يونس:٧١)
“Maka cita-citakanlah
urusanmu.”
Menurut Imam Ghazali
ijma’ adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah
agama.
b) Rukun dan Syarat Ijma’
Rukun ijma’ menurut
Jumhur Ulama yaitu:
1. Yang terlibat dalam
pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid
2. Mujtahid yang terlibat
dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut
3. Kesepakatan itu
diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya
4. Hukum yang disepakati
itu adalah hukum syara’
5. Sandaran ijma’ yaitu
Alquran dan Hadis
c) Syarat-syarat Ijma’
Menurut Jumhur Ulama
1. Yang melakukan ijma’
adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad
2. Kesepakatan muncul
dari mujtahid yang bersifat adil
3. Mujtahid yang terlibat
adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.
d) Kedudukan Ijma’
Ijma’ tidak dijadikan
hujjah (alasan) dalam menetapkan hukum karena yang menjadi alasan adalah kitab
dan sunnah atau ijma’ yang didasarkan kepada kitab dan sunnah.
“Ijma’ tidaklah termasuk dalil yang bisa
berdiri sendiri.”
Firman Allah Swt. QS.
An-Nisa’ ayat 58 yang artinya:
“Jika kamu berlainan pendapat dalam suatu
masalah, maka hendaklah kamu kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Yang dimaksud kembali
kepada Allah yaitu berpedoman dan bertitik tolak dalam menetapkan suatu hukum
kepada Alquran. Sedangkan yang dimaksud dengan kembali kepada Rasul-Nya yaitu
berdasarkan kepada Sunnah Rasul. Dengan pengertian ijma’ yang dapat menjadi
hujjah adalah ijma’ yang berdasarkan kepada Alquran dan Sunnah.
e). Macam - macam Ijma
Macam - macam ijma bila dilihat dari cara terjadinya ada dua
macam, yaitu:
1)
Ijma sharih, yaitu
semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati
salah satunya.
2)
Ijma sukuti, yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu
masalah yang di ketahui oleh para mujtahid lainya, tapi mereka diam, tidak menyepakati
ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas.
4). Qiyas
a) Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa
artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan
persamaan illatnya. Sedangkan menurut istilah qias adalah mengeluarkan
(mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum
mempunyai ketetapan) kepada hukum yang telah ada atau telah ditetapkan oleh
kitab dan sunnah, disebabkan sama illat antara keduanya (asal dan furu’).
b) Rukun dan Syarat Qiyas
Para ulama ushul fiqh
menatapkan bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu: ‘ashl (wadah hukum yang ditetapkan
melalui nash atau ijma’), far’u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), ‘illat
(motivasi hukum) yang terdapat dan terlibat oleh mujtahid pada ‘ashl, dan hukum
‘ashl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’).
Para ulama ushul fiqh
mengemukakan bahwa setiap rukun qias yang telah dipeparkan dia atas harus
memenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga qias dapat dijadikan dalil dalam
menetapkan hukum. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
1. Ashl
Syarat-syarat ashl itu
adalah:
a) Hukum ashl itu adalah
hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dibatalkan
b) Hukum itu ditetapkan
berdasarkan syara’
c) ‘Ashl itu bukan
merupakan far’u dari ashl lainnya
d) Dalil yang menetapkan
‘illat pada ashl itu adalah dalil khusus
e) Ashl itu tidak berubah
setelah dilakukan qias
f) Hukum ashl itu tidak
keluar dari kaidah-kaidah qiyas
2. Hukum al-Ashl
a) Tidak bersifat khusus
b) Hukum al-ashl itu
tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qias
c) Tidak ada nash
d) Hukum al-ashl itu lebih
dahulu disyariatkan dari far’u.
3. Far’u
a) ‘Illatnya sama
dengan ‘illatnya yang ada pada ashl
b) Hukum ashl tidak
berubah setelah dilakukan qias
c) Hukum far’u tidak
mendahului hukum ashl
d) Tidak ada nash atau
ijma’ yang menjelaskan hukum far’u itu
4. ‘Illat
a) ‘Illat mengandung
motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum
b) ‘Illat dapat diukur
dan berlaku untuk semua orang
c) ‘Illat itu jelas,
nyata, dan bisa ditangkap oleh panca indera manusia
d) ‘Illat merupakan sifat
yang sesuai dengan hukum
e) ‘Illat itu tidak
bertentangan dengan nash atau ijma
f) ‘Illat itu bersifat
utuh dan berlaku secara timbal balik
g) ‘Illat itu tidak
datang belakangan dari hukum ashl
h) ‘Illat itu bisa
ditetapkan dan diterapkan pada kasus hukum lain.
c) Kedudukan Qias
Menurut Jumhur Ulama,
bahwa qias adalah hukum syara’ yang dapat menjadi hujjah dalam menetapkan suatu
hukum dengan alasan:
فاعتبروايااولى الابصار
(الحشر:٢)
“Maka menjadi pandangan bagi orang-orang yang
berpikir.” (QS. Al-Hasyr:2)
Kalimat yang
menunjukkan qias dalam ayat ini “menjadi pandangan”, ini berarti membandingkan
antar hukum yang tidak disebutkan dengan hukum yang telah ada ketentuannya.
C. PENUTUP
Sumber berarti rujukan
utama dalam menetapkan hukum Islam, yaitu Alquran dan Sunnah. Sedangkan dalil
yaitu suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam
memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qathi’
(pasti) maupun zhanni (relatif).
Sumber dan dalil
hukum-hukum Islam yaitu meliputi Alquran dan Sunnah Rasul. Alquran adalah kalam
Allah yang mukjiz, diturunkan kepada Nabi dan Rasul
penghabisan dengan perantaraan Malaikat terpercaya, Jibril, tertulis dalam
mushaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan
ibadah, yang dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
Sedangkan Sunnah Rasul adalah segala perilaku Rasulullah yang berhubungan
dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah Qauliyah), perbuatan (sunnah
Fi’liyah), atau pengakuan (sunnah Taqririyah).
Dalil dan metode
penggunaan dalil yaitu ijma, qiyas. Ijma adalah kesepakatan umat Muhammad
secara khusus tentang suatu masalah agama. Qiyas yaitu mengeluarkan (mengambil)
suatu hukum yang serupa dari hukum yang telah disebutkan (belum mempunyai
ketetapan) kepada hukum yang telah ada atau telah ditetapkan oleh kitab dan
sunnah, disebabkan sama illat antara keduanya (asal dan furu’).
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Nazar. 1996. Fiqh dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Effend, H. Satria dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqih. 2005.
Jakarta: Kencana.
Haroen, H. Nasrun. 1996. Ushul Fiqih I. Jakarta: PT Logos
Wacana Ilmu.
Rohayana, Ade Dedi. 2005. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan:
STAIN Press.
Ali Shodiqin, “Pengantar Fiqih/Ushul Fiqih”,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar